First Page in First Novel

Hari demi hari kuhitung mundur. Cukup untuk tiga hari ke depan maka semua rasa ini akan berakhir.

Semenjak kejadian itu, maka tiga hari kemudian adalah surga yang kunantikan.

Neraka kapuk semakin menyadarkanku betapa bahagianya mereka yang memiliki tubuh sehat. Pasti setiap hari tempat empuk ini akan menjadi sasaran terutama untuk melarikan diri dari puncak kelelahan.

Badan lebam di mana-mana. Kepala masih meninggalkan sisa-sisa trauma dan benjolan. Untuk tidur pun aku harus memikirkan posisi yang tepat berulang kali. Salah sedikit, maka teriakanku bisa membuncah ruangan berwarna serba lembut ini.

Di hari pertama, “anakku” sudah datang menjenguk. Mereka datang bersamaan sepulang dari kampus. Dan beberapa yang bolos kelas. Pastinya kamar kecil ini menjadi penuh sesak dengan kehebohan Lydia, Tara, Poni, dan Bobo, begitu panggilannya.

Mereka sendiri selalu menyapaku dengan sebutan “Mami”. Alasannya beragam. Karena aku lebih tua setahun dari mereka. Karena gaya feminimku. Karena aku bisa menjadi “tempat sampah” mereka. Juga, mungkin karena wajahku bukan seperti perempuan 22 tahun. Terserahlah. Mungkin semuanya benar.

Itulah aku.

Dan ceritaku baru saja dimulai.

“Tidak apa-apa,” jawabnya tenang. “Sejauh mana ingatanmu stuck?"

“Sampai aku membuka mataku lagi di kamar ini,” suaraku mengambang.

Aku melirik opung. Kini ia hanya sendirian di depan pintu. Erik telah keluar kamar. Mungkin ia tidak mau ikut campur masalah yang bukan urusannya.

“Dok, aku tidak tahu siapa yang menolongku? Yang membawaku ke rumah ini. Tak ada yang tahu. Opung juga tidak melihatku.” Aku pasrah. “Mungkin hanya Tuhan dan para malaikat yang tahu.”

“Memang itu sering terjadi.” Pria agak gemuk itu menjawab dengan sangat tenang. Seakan tak terjadi sesuatu yang penting.

“Kamu terkena geger otak ringan. Kejadian tadi pagi cukup membuat kamu terguncang. Jadi kemungkinan otakmu masih belum mau membuka lagi ingatan akan pagi itu. Tapi, suatu hari kamu pasti akan mengingatnya kembali. Setelah tubuhmu tidak menolak lagi kenyataan yang sebenarnya telah terjadi.”

“Baik, Dok.”

“Sekarang yang penting kamu harus memulihkan lagi keadaanmu dan terus minum obat yang sudah saya berikan, ya.” Dokter Daniel menyarankan.

“Baik, Dok.” Hanya itu kata yang bisa kuucapkan.

“Oke. Kembalilah beristirahat lagi. Malam juga sudah larut, sebaiknya saya dan teman saya pulang. Cepat sembuh ya, Victoria. Dan salam buat ayah, juga ibumu nanti.” Ia berkata sambil berdiri dan menghampiri opung di pintu kamar.

“Terima kasih ya, Dokter.” Hatiku luluh setiap mendengar ada orang yang perhatian pada ibuku juga.

Opung dan dokter bernama Daniel itu keluar. Tak lama, sebelum pintu kamarku ditutup opung, muncul wajah malaikat lagi.

“Cepat sembuh Victoria.”

Hanya sekilas. Tapi wajahnya mampu membuatku demam mendadak. Rasanya aku ingin berteriak memintanya mengucapkannya beribu-ribu kali. Itu kalimat sakti yang mampu membuatku lupa bahwa rasa sakit di tempat tidur ini seperti neraka.


Itulah sekilas pembuka dari novel perdana karya Christina Toar berkat asahan Masri Sareb Putra, selaku dosen Creative Writing, Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Hasil karya mahasiswa sempat dipamerkan di kampus tercinta pada menjelang akhir 2009 lalu. Ingin tahu cerita lebih selengkapnya? Atau bagaimana perjuangan seorang Victoria dalam kisah berjudul "Deja-VJ" ini? Nantikan!

Comments

Popular Posts