ADIOS, PUTRI!

Created by: Christina Toar

Awan kelam tipis turun perlahan mengisi suatu pagi. Semua tanda kedatangan titisan sejuta air ke bumi, seakan menjadi ekspresi perasaanku kini. Biarlah hujan saja yang menjadi curahan hati ini. Saat ini.

Perasaan yang dulu itu kembali hadir.

Saat kau melihatnya, kau akan merasakannya. Tidak dapat terkatakan rindu ini. Sakit ini. Pedih ini. Tak ada satu pun yang bisa mewakili hati yang telah lama terbuai oleh kesia-siaan.

Jika kau bersamanya aku tidak apa-apa. Tetapi saat kau memegang tangannya, lukisan wajahnya sama. Sama seperti di saatku memegang tangannya. Mata yang memancarkan kerinduan. Senyum yang memberikan ketenangan. Semu merah di pipinya. Dia tampak hidup dan nyata di duniamu. Dan aku pun merasakan hal yang sama.

Di kala senang, dia selalu melipatgandakan kesenangan itu.

Katanya, “tidak ada yang tidak bisa aku lakukan, lho!”

Ia selalu membangga-banggakan keahliannya itu. Dan aku pun pasti akan tertawa mendengarnya.

Ia memang selalu benar. Saat itu.

Di kala bimbang, dia selalu hadir memberi semangat. Ia memiliki semua kata yang ingin kudengar. Ia tahu semua yang kuinginkan, yang kubutuhkan.

Dan ia selalu ada saat itu. Bukan saat ini.

Di kala hati ini sedih, dialah tempatku bermanja. Ia selalu tampak dewasa dan sempurna di mataku.

Tapi, kali ini dialah penyebab luka ini.

Dia dalangnya.

Sekarang mimpi terindahku berubah menghantuiku.

Dua tahun telah kulewati bersamanya. Hanya dialah pilihan terbaikku diantara yang lainnya. Tapi, hanya dalam dua hari pula ia menghancurkannya.

Apa dosaku? Apa dendammu?

Salahkan saja matahari yang selalu enggan untuk menampakkan sinarnya di malam hari. Benci saja air yang selalu mengalir dari hulu ke hilir. Pukul saja angin yang selalu kau hirup. Jangan aku!

Apakah kebawelan dan kemanjaanku yang kau permasalahkan?

Oh, kaulah yang paling mengerti dan memahami aku! Itu yang pernah kau katakan. Remember?

Tapi kenapa?

Kau tawarkan ‘ku sejuta harapan

Namun kenangan itu tak pernah hilang

Ku ingin kau tahu betapa rapuhnya aku

Lagu Joeniar Arief bersenandung sendu di sela-sela i-Pod yang kudengar makin membuatku sakit. Mengapa semua tidak seindah yang kuharapkan?

Eline dan Sophia, sahabatku, selalu memperingatkanku untuk tidak terbawa suasana. Mereka tahu bahwa di saatku mulai terjerumus ke dalam, maka semua akal sehatku akan tak terkendali. Aku akan semakin rapuh.

Kali ini Sophia-lah orang pertama yang membeberkan tentang kenyataan itu. Fakta yang tidak dapat kuhindari lagi. Fakta yang harus kuhadapi lagi.

Seminggu yang lalu aku memang sudah merasakan ada yang janggal. Ia tidak pernah meneleponku lagi. Di sekolah ia sulit ditemukan. Ia selalu menghindar ketika tatapannya bertemu denganku. Setiapku bertanya, ia hanya diam dan berkata kalau ia sedang sibuk, gusar, atau kesal. Secara tak langsung statusku berubah baginya. Bukan lagi pacar, tapi musuh. Musuh yang hanya melihat muka pun mual rasanya.

Semua terungkap dua hari yang lalu. Baru saja Honda Jazz purple-ku keluar parkiran sekolah, dan aku melihat dia bersama si Centil, anak kelas X-5. Memang ia termasuk anak baru yang jago cheerleaders. Sedangkan aku hanya berbakat dalam bidang seni musik. Tapi aku bangga dengan hal itu. Ketika aku bernyanyi dan bermain gitar, dunia serasa memujaku.

“Tak hanya itu,” kata Eline, “walaupun kamu kalah cantik dari aku, tapi penampilan dan kepercayaan diri kamulah yang menarik para kaum adam memilihmu.”

Itulah yang meyakinkanku kalau dia pasti tidak akan berpaling dariku.

Tapi kenyataan berkata lain. Dia lebih memilih memegang tangan Angga, si Centil yang tidak tahu malu.

Sorot matanya kepada si Centil tak dapat kulupakan. Hampir kutarik rambut si Centil itu. Namun sayangnya, semuanya hanya dalam anganku. Mobil-mobil di belakangku tidak mau tahu apa yang kurasakan. Mereka hanya bisa berteriak-teriak, seperti anak ayam ditinggal induknya. Mereka memaksaku menjauh dari tempat itu.

Malamnya kutagih jawaban itu darinya. Kau tahu jawabannya? Ia tidak menyangkalnya! Juga tidak memberikan penjelasan. Ia hanya menggantungkan semuanya. Tak ada yang jernih. Semua tertutup kabut.

Akhirnya, Sophia angkat suara. Ia menceritakan tentang tahun ketiganya di SMP yang baru. Pada saat itu mereka sekelas. Hanya dengan kepintaran dan kecantikannya, Sophia mudah mendapat banyak teman. Tak terkecuali grup ‘penggosip’.

Salah satu kasus yang terheboh saat itu adalah putusnya pasangan yang telah tiga tahun pacaran. Alasannya karena si cewek menemukan cowok yang lebih pengertian daripada pacarnya. Padahal cowok barunya itu kalah jauh dibanding dengannya. Dari segi penampilan, sampai keahlian. Hah, tapi tak selamanya yang lebih unggul yang terpilih. Dan itulah batu terberat yang harus dibawanya.

Dari sini Sophia dan Eline pun langsung mengambil kesimpulan. Mereka berpendapat bahwa dia mendekatiku hanya untuk mempermainkanku –selama dua tahun. Dan semua itu karena ia mau balas dendam dengan traumatisnya.

Clep!

Sakit. Dalam. Sampai ke jantungku.

Ia telah merusak kepercayaanku. Segalanya.

Pantas saja ekspresinya selalu sama. Selalu seperti mengiba akan cinta sejati. Padahal cinta itu telah kuberikan kepadanya. Seluruh ketulusan telah kupersembahkan untuk yang kukasihi. Tapi ia tidak menanggapinya. Ia selalu berekspresi yang sama.

Dan hari ini pun tiba.

Mungkin semuanya terlalu cepat untukku. Tapi keputusanku telah matang. Telah kuhabiskan waktuku untuk memikirkan hal ini.

Siang berubah menjadi seperti malam. Matahari mulai bersembunyi di balik awan hitam. Semoga yang terjadi nanti, akan berakhir dengan indah. Harapku.

Teeett!

Tanda waktu ujian praktek Bahasa Indonesia terakhirku selesai juga. Itulah tanda bahwa semua siswa kelas XII harus meninggalkan ruangan. Inilah saatnya!

Kucegat dia di depan kelasnya. Dan kutarik lengannya agar ia tidak melarikan diri lagi dari hadapanku. Ia tampak marah, sekaligus bingung.

Setelah sampai di dekat parkiran, aku langsung to the point.

“Sekarang juga gue minta putus, Boy.”

Dengan tegas dan jelas aku melafalkan kata-kata tersebut.

“Hhh… Kamu minta putus, Putri?” dengan mendengus santai, tanyanya.

Plak!

Amarahku langsung memuncak. Seenaknya saja ia masih memanggil nama panggilan sayang kedua orang tuaku. Dengan nada yang menjijikan pula.

Tamparan keras ini langsung kuarahkan ke pipi kirinya.

Dammit, Boy! Jangan pernah memanggil namaku dengan sebutan itu lagi!”

Aku tak tahan lagi. Suaraku mulai lepas kendali. Dan aku benar-benar tidak ingin membuat keributan ini menjadi tontonan gratis orang lain.

Dia masih diam saja sambil memegang pipinya. Ia tak lagi menatapku.

Tenang… Tenang…

Dengan emosi yang kutekan aku berkata lagi. “Jadi selama ini, memang hal inilah yang kau inginkan? Dari dulu kau memang tidak mencintaiku?”

Dia tak bergeming. Aku pun diam menanti jawaban darinya.

“Iya,” katanya dengan pelan, tapi jelas di telingaku.

Apa?!

“Memang dari dulu aku tidak pernah mencintaimu. Apakah itu cinta?”

Ia menarik dan membuang nafas panjang.

“Kau hanya akan tertipu jika jatuh cinta. Dan orang yang percaya cinta adalah orang terbodoh di dunia,” sambungnya tak kalah dingin.

Kakiku langsung lemas mendengarnya. Ia benar-benar sakit.

“Aku deketin kamu, memang cuma karena kamu cantik dan menonjol di antara yang lainnya, Sayang. Harusnya kamu tahu itu,” jelasnya.

“Cukup!” teriakku.

Untungnya pada saat itu Eline dan Sophia sudah berada di sekitarku. Mereka membelaku. Tapi aku tidak lagi dapat mendengar dengan jelas. Semua alat inderaku lumpuh. Emosiku sudah mencapai batasnya. Air mata ini keluar tanpa bisa kubendung lagi. Hatiku terluka oleh kata-katanya. Ia benar-benar telah menyayat semua hal terindah yang pernah ia berikan.

Satu yang masih kusadari adalah kata terakhirnya sebelum ia pergi.

“Selamat tinggal, Zefalia Putrihera Kurniawan.”

Detik itu juga aku merasa tak hanya aku yang menangis. Matahari di balik awan pun ikut bersedih denganku. Tetesan air hujan dan tarikan tangan sahabatku menyadarkanku. Dia telah pergi. Dan itu nyata.

Aku digiring paksa pada sebuah keputusan baru. Keputusan bodoh. Sebuah keputusan untuk menjadi bagian diriku yang lain. Aku benci diriku yang sekarang –yang dulu. Yang dengan bodohnya dipilih bukan karena dicinta. Namun hanya eksistensi dan dendam semata.

Comments

Popular Posts